KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt penulis ucapkan
sedalam-dalamnya, yang telah memberikan rahmat dan nikmatnya serta ilmu yang
bermanfaat sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini. Sholawat serta
salam penulis selalu hanturkan untuk Nabi Muhammad Saw serta keluarga dan
sahabatnya yang telah meperjuangkan islam dan membawa kami dari zaman jahiliyah
sampai terang bendarang saat ini.
Penulis juga ucapkan terima kasih kepada dosen
pematakuliah Administrasikeuangan Daerah yaitu Wirman, SE. M.PAyang dimana
beliau telah membimbing penulis dalam menyelesaikan tulisan makalahini yang
berjudul “Pengawasan APBD”. Penulis akui bahwa kehadiran beliau
dalam membimbing penulis sangatlah penting dan tidak akan menutup kemuungkinan
penulis akan kesulitan apabila tidak ada beliau.
Selain itu penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada teman-teman yang selalu memberikan dorongan semangat dalam
menyokong penulis untuk menyelesaikan makalah ilmiah ini, jauh dari keputus
asaan penulis sangat bertopang kepada sahabat untuk memberikan keluhkesah
terhadap pembuatan makalah ini.
Sungai Limau, 16
Januari2013
Penulis
AL Muqtadir
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Proses pengawasan merupakan hal penting dalam
menjalankan kegiatan organisasi, oleh karena itu setiap pimpinan harus dapat
menjalankan fungsi pengawasan sebagai salah satu fungsi manajemen. Dengan
demikian peranan pengawasan sangat menentukan baik buruknya pelaksanaan suatu
rencana.
APBD merupakan dasar pengelolaan
keuangan daerah dalam satu tahun anggaran. APBD merupakan rencana pelaksanaan
semua Pendapatan Daerah dan semua Belanja Daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Pemungutan semua penerimaan
Daerah bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Demikian
pula semua pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan
dalam APBD. Karena APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah, maka APBD
menjadi dasar pula bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan
keuangan daerah.
Tahun anggaran APBD sama dengan
tahun anggaran APBN yaitu mulai 1 Januari dan berakhir tanggal 31 Desember
tahun yang bersangkutan. Sehingga pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan
keuangan daerah dapat dilaksanakan berdasarkan kerangka waktu tersebut.
APBD disusun dengan pendekatan
kinerja yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil
kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan.
Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur
secara rasional yang dapat tercapai untuk setiap sumber pendapatan. Pendapatan
dapat direalisasikan melebihi jumlah anggaran yang telah ditetapkan. Berkaitan
dengan belanja, jumlah belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi untuk
setiap jenis belanja. Jadi, realisasi belanja tidak boleh melebihi jumlah
anggaran belanja yang telah ditetapkan.
Ketika penerapan otononomi daerah,
dimana pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskresi) kepada daerah untuk
mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal bagi kesejahteraan
masyarakat. sedangkan pemerintahan yang bebas identik dengan penerapan otonomi
daerah, dimana pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskresi) kepada daerah
untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal bagi
kesejahteraan masyarakat.
Fungsi Pengawasan yang dilakukan
DPRD di Indonesia pada umumnya masih banyak mengalami kendala, diantaranya
adalah tidak adanya penetapan jadwal untuk agenda pengawasan, Lemahnya
koordinasi antar anggota komisi, dan kurangnya pengetahuan anggota DPRD
sehingga pengawasan hanya sekedar formalitas belaka atau hanya sekedar
kunjungan kerja tanpa ada hasil yang dicapai atau rekomendasi dari hasil
pengawasan tersebut.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkanpenjelasanlatarbelakanngdiatasmakadapatdiambilsebiahrumusanmasalahsebagaiberikut
:
1. BagaiManaKonsepPengawasan
?
2. BagaiManaPengawasanDalamAPBD
?
3. BagaiManaPeran DPRD
DalamPengawasanAPBD ?
4. BagaiManaPeranPengawas
Internal Pemerintah Daerah &Pusat ?
5. BagaimanaPeranPublikDalamPengawasanAPBD
?
1.3 TUJUAN PENULISAN
SetelahdiamatidariRumusanMasalah,
makapenulismengambilkesimpulanuntuktujuanpenulisansebagaiberikut :
1. UntukMengetahuiBagaiManaKonsepPengawasan
?
2. UntukMengetahuiBagaiManaPengawasanDalamAPBD
?
3. UntukMengetahuiBagaiManaPeran
DPRD DalamPengawasanAPBD ?
4. UntukMengetahuiBagaiManaPeranPengawas
Internal Pemerintah Daerah &Pusat ?
5. UntukMengetahuiBagaimanaPeranPublikDalamPengawasanAPBD
?
1.4 METODE PENULISAN
Metode yang dapat digunakan dalam
penulisan makalah ini adalah mengunakan metode Tinjauan Pustaka dan searcing
internet.
BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Konsep Pengawasan
Istilah pengawasan dalam bahasa Indonesia asal katanya
adalah “awas”, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut controlling yang
diterjemahkan dengan istilah pengawasan dan pengendalian, sehingga istilah controlling
lebih luas artinya dari pada pengawasan. Akan tetapi dikalangan ahli atau
sarjana telah disamakan pengertian “controlling” ini dengan pengawasan.
Jadi pengawasan adalah termasuk pengendalian.
Pengendalian berasal dari kata “kendali”, sehingga pengendalian mengandung arti
mengarahkan, memperbaiki, kegiatan, yang salah arah dan meluruskannya menuju
arah yang benar.
Akan tetapi ada juga yang tidak setuju akan
disamakannya istilah controlling ini dengan pengawasan, karena controlling
pengertiannya lebih luas daripada pengawasan dimana dikatakan bahwa pengawasan
adalah hanya kegiatan mengawasi saja atau hanya melihat sesuatu dengan seksama
dan melaporkan saja hasil kegiatan mengawasi tadi, sedangkan controlling
adalah disamping melakukan pengawasan juga melakukan kegiatan pengendalian
menggerakkan, memperbaiki dan meluruskan menuju arah yang benar.
2.1.1 Maksud dan Tujuan Pengawasan
Dalam rangka pelaksanaan pekarjaan dan untuk mencapai
tujuan dari pemerintah yang telah direncanakan maka perlu ada pengawasan,
karena dengan pengawasan tersebut, maka tujuan yang akan dicapai dapat dilihat
dengan berpedoman rencana yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh
pemerintah.
Dengan demikian pengawasan itu sangat penting dalam
melaksanakan pekerjaan dan tugas pemerintahan, sehingga pengawasan diadakan
dengan maksud untuk:
1.
Mengetahui jalannya pekerjaan,
apakah lancar atau tidak
2.
Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang
dibuat oleh pegawai dan mengadakan pencegahan agar tidak terulang kembali
kesalahan-kesalahan yang sama atau timbulnya kesalahan yang baru
3.
Mengetahui pelaksanaan kerja sesuai
dengan program seperti yang telah ditentukan dalam planning atau tidak
Berkaitan dengan tujuan pengawasan, Situmorang dan
Juhir mengemukakan agar terciptanya aparat yang bersih dan berwibawa yang
didukung oleh suatu sistem manajemen pemerintah yang berdaya guna dan berhasil
guna serta ditunjang oleh partisipasi masyarakat yang konstruksi dan terkendali
dalam wujud pengawasan masyarakat (control social) yang obyektif,
sehat dan bertanggung jawab.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat
diketahui bahwa pada pokoknya tujuan pengawasan adalah membandingkan antara
pelaksanaan dan rencana serta instruksi yang telah dibuat, untuk mengetahui ada
tidaknya kesulitan, kelemahan atau kegagalan serta efisiensi dan efektivitas
kerja dan untuk mencari jalan keluar apabila ada kesulitan, kelemahan dan
kegagalan atau dengan kata lain disebut tindakan korektif.
2.1.2 Macam-Macam Pengawasan
Dalam hal pengawasan dapat diklasifikasikan macam-macam
pengawasan berdasarkan berbagai hal, yaitu:
a.
Pengawasan langsung dan pengawasan
tidak langsung
Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan secara pribadi oleh
pimpinan atau pengawas dengan mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri
secara “on the spot” di tempat pekerjaan dan menerima laporan-laporan
secara langsung pula dari pelaksana. Sedangkan pengawasan tidak langsung
diadakan dengan mempelajari laporan-laporan yang diterima dari pelaksana, baik
lisan maupun tertulis, mempelajari pendapat-pendapat masyarakat dan tanpa
pengawasan.
b.
Pengawasan Preventif dan Represif
Walaupun prinsip pengawasan adalah preventif, namun bila dihubungkan dengan
waktu pelaksanaan pekerjaan, dapat dibedakan antara Pengawasan Preventif dan
Pengawasan Represif. Pengawasan Preventif berkaitan dengan pengesahan Peraturan
Daerah atau Keputusan Kepala Daerah tertentu. Karena tidak semua Peraturan
Daerah dan Keputusan Kepala Daerah memerlukan pengesahan. Selama pengesahan
belum diperoleh, Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah yang
bersangkutan belum berlaku dan pengawasan ini dilakukan melalui preaudit
sebelum pekerjaan dimulai. Misal dengan mengadakan pengawasan terhadap
persiapan-persiapan, rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga
dan sumber-sumber lain. Sedang Pengawasan Represif dapat berbentuk penangguhan
berlaku atau pembatalan. Suatu Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah
yang sudah berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat dapat ditangguhkan atau
dibatalkan karena bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya dan pengawasan ini dilakukan
melalui post audit dengan pemeriksaan terhadap pelaksanaan di tempat, meminta
laporan pelaksanaan dan sebagainya.
c.
Pengawasan Intern dan Pengawasan
Ekstern
Pengawasan Intern, adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam
organisasi itu sendiri. Pada dasarnya pengawasan harus dilakukan oleh pucuk
pimpinan sendiri. Akan tetapi di dalam praktek hal ini tidak selalu mungkin.
Oleh karena itu setiap pimpinan dalam organisasi pada dasarnya berkewajiban
membantu pucuk pimpinan untuk mengadakan pengawasan secara fungsional sesuai
dengan bidang tugasnya masing-masing. Sedangkan Pengawasan Ekstern adalah
pengawasan yang dilakukan oleh aparat dari luar organisasi sendiri. Seperti
pengawasan dibidang keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sepanjang meliputi
seluruh Aparatur Negara dan Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara
terhadap Departemen dan Instansi pemarintah lain.
Macam-macam pengawasan ini didasarkan pada
pengklasifikasian pengawasan. Disamping itu pula ada beberapa macam pengawasan
dilihat dari bidang pengawasannya, yakni:
a.
Pengawasan anggaran pendapatan (budgetary
control)
b.
Pengawasan biaya (cost control)
c.
Pengawasan barang inventaris (inventory
control)
d.
Pengawasan produksi (production
control)
e.
Pengawasan jumlah hasil kerja ( quality
control)
2.1.3 Proses Pengawasan
Proses pengawasan merupakan hal penting dalam
menjalankan kegiatan organisasi, oleh karena itu setiap pimpinan harus dapat menjalankan
fungsi pengawasan sebagai salah satu fungsi manajemen.
Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan
organisasi terhadap setiap pegawai yang berada dalam organisasi adalah
wujud dari pelaksanaan fungsi administrasi dari pimpinan organisasi terhadap
para bawahan, serta mewujudkan peningkatan efektifitas, efisiensi,
rasionalitas, dan ketertiban dalam pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas
organisasi.
Pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan organisasi
akan memberikan implikasi terhadap pelaksanaan rencana akan baik jika
pengawasan dilakukan secara baik, dan tujuan baru dapat diketahui tercapai
dengan baik atau tidak setelah proses pengawasan dilakukan. Dengan demikian
peranan pengawasan sangat menentukan baik buruknya pelaksanaan suatu rencana.
2.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
2.2.1 Tinjauan Umum APBD
APBD adalah suatu rencana keuangan
tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan pemerintah tentang APBD.
Anggaran daerah pada hakekatnya
merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung
jawab.Atas dasar acuan tersebut, penyusunan APBD hendaknya mengacu pada norma
dan prinsip anggaran sebagai berikut:
a. Transparansi dan akuntabilitas
APBD harus dapat memberikan informasi yang jelas
tentang tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu
kegiatan yang dianggarkan. Selain itu penggunaannya juga harus dapat
dipertanggungjawabkan.
b. Disiplin anggaran
Anggaran yang disusun harus dilakukan berlandaskan
asas efisiensi, tepat guna, tepat waktu, dan dapat dipertanggungjawabkan.
c. Keadilan anggaran
Pemerintah wajib mengalokasikan penggunaannya secara
adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi
dalam pemberian pelayanan.
d. Efisiensi dan efektivitas anggaran
Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik
mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang
maksimal guna kepentingan masyarakat.
e. Format anggaran
Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan format anggaran
deficit (deficit budget format). Apabila terjadi surplus, daerah dapat
membentuk dana cadangan, sedang bila terjadi defisit, dapat ditutup melalui
sumber pembiayaan pinjaman dan atau penerbitan obligasi daerah sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2.2.2 Mekanisme Penyusunan APBD
Mekanisme penyusunan APBD dilakukan melalui tiga
tahap, yaitu penetapan, perubahan dan perhitungan APBD.
a. Penetapan APBD
Penetapan APBD adalah penetapan rencana APBD yang telah disusun oleh
pemerintah daerah dan diajukan kepada DPRD untuk ditetapkan sebagai Perda. APBD
ditetapkan paling lambat tiga bulan setelah ditetapkannya APBN. APBD tersebut
perlu mendapat pengesahan dari pejabat yang berwenang yaitu dari Mendagri.
b. Perubahan APBD
Berdasarkan PP No. 5 Tahun 1975 Pasal 14 jo. Pasal 183 UU No. 32 Tahun
2004, daerah dapat melakukan perubahan rencana APBD yang disebabkan antara
lain: perbedaan antara perencanaan dan realisasi/pelaksanaan akibat perubahan
harga, pengurangan dan penambahan volume pekerjaan, dan berbagai sebab lainnya
yang menyebabkan pergeseran anggaran.
c. Perhitungan APBD
Berdasarkan Permendagri No. 2 Tahun 1994, perhitungan APBD ditetapkan
paling lambat enam bulan setelah ditetapkannya APBN untuk tahun anggaran
berikutnya. Perhitungan ini merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
kepada DPRD pada setiap tahun anggaran. Perhitungan APBD harus menghitung
selisih antara realisasi penerimaan dan realisasi pengeluaran dengan anggaran
pengeluaran dengan menjelaskan alasannya. Perhitungan APBD juga ditetapkan
melalui Perda.
2.2.3 Pendapatan Daerah
Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004
Pasal 157, bahwa sumber pendapatan daerah terdiri atas:
a. Hasil pajak daerah (PAD) yang meliputi:
Ć
Hasil pajak daerah
Ć
Hasil retribusi daerah
Ć
Hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan dan
Ć
Lain-lain PAD yang sah.
b. Dana perimbangan yang terdiri dari:
Ć
Bagian daerah dari penerimaan Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHATB) dan
Penerimaan dari sumber daya alam (SDA)
Ć
Dana Alokasi Umum (DAU)
Ć
Dana Alokasi Khusus (DAS)
c. Lain-lain pendapatan daerah yang
sah.
Pendapatan secara terperinci berdasarkan pada jenis
pendapatan, terdiri atas:
1.
Sisa lebih perhitungan tahun lalu.
Berbagai hal penyebab terdapatnya sisa anggaran antara
lain:
Ć
Adanya penerimaan yang tidak
diperkirakan pada saat penyusunan APBD
Ć
Adanya sisa pada pagu anggaran yang
disediakan dalam APBD dengan harga hasil tender oleh pihak ketiga.
Ć
Adanya sisa anggaran meski target
pelaksanaan fisik suatu proyek telah mencapai 100%.
Ć
Adanya anggaran tahun lalu yang
belum terserap karena pelaksanaan kegiatan fisiknya belum selesai.
2.
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
PAD seringkali dianggap sebagai tumpuan utama sumber keuangan
daerah. Jenis-jenis PAD antara lain:
Ć
Pajak daerah, yaitu iuran wajib yang
dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan yang
seimbang, yang dapat dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangan-undangan
yang berlaku, yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Ć
Retribusi daerah, yaitu pungutan
daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau
badan.
Ć
Laba perusahaan.
Ć
Penerimaan dinas dan penerimaan
lain-lain.
3.
Bagi hasil pajak dan bukan pajak
Bagi hasil pajak dan bukan pajak adalah bagian pajak
dan bukan pajak pusat yang dibagihasilkan kepada daerah, baik provinsi
maupun kabupaten/kota.
4.
Sumbangan dan bantuan
Sumbangan adalah dana yang diberikan
pemerintah kepada pemerintah daerah yang digunakan untuk membiayai belanja
pegawai daerah dan pegawai pusat yang diperbantukan di daerah, serta keperluan
belanja nonpegawai.
Bantuan adalah dana yang diberikan
pemerintah kepada daerah yang digunakan untuk pembangunan daerah yang
bersangkutan.
5.
Pinjaman
Pinjaman daerah adalah semua
transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau
manfaat bernilai uang, sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk
membayar kembali.
Pinjaman daerah dapat bersumber
dari:
Ć
Dalam Negeri
Ć
Luar Negeri
Pinjaman Daerah terdiri dari dua jenis:
1)
Pinjaman Jangka Panjang
Pinjaman daerah dengan jangka waktu lebih dari satu
tahun dengan persyaratan bahwa pembayaran kembali pinjaman berupa pokok
pinjaman, bunga dan biaya lain sebagian atau seluruhnya harus dilunasi pada
tahun-tahun anggaran berikutnya.
2)
Pinjaman Jangka Pendek
Pinjaman daerah dengan jangka waktu
kurang atau sama dengan satu tahun dengan persyaratan bahwa pembayaran kembali
pinjaman berupa pokok pinjaman, bunga dan biaya lain seluruhnya harus dilunasi
dalam tahun anggaran bersangkutan.
2.2.4 Belanja Daerah
Belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah
dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. Belanja daerah
terdiri atas:
a.
Belanja rutin
Belanja rutin adalah pengeluaran untuk membiayai
kegiatan pemerintah daerah yang bersifat administrasi dan pelayanan
pemerintahan umum.
b.
Belanja pembangunan
Pembangunan daerah adalah bagian
integral dari pembangunan nasional, dan pelaksanannya mengacu pada pola dasar
pembangunan daerah serta rencana pembangunan lima tahun masing-masing. Dapat
dilihat arahan pembangunan suatu daerah seyogianya merupakan bagian integral
dari rencana strategi pembangunan nasional.
BAB III PEMBAHASAN
3.1 PENGAWASAN PELAKSANAAN APBD
APBD adalah rencana keuangan Pemda,
yang mencakup tiga komponen, yakni pendapatan, belanja dan pembiayaan. Selisih
pendapatan dengan belanja disebut surplus atau defisit, yang memiliki makna
bahwa Pemda boleh merencanakan pengeluaran untuk belanja yang tidak sama persis
dengan jumlah pendapatannya.
Di sisi lain, rencana keuangan yang telah ditetapkan sebelum tahun anggaran
berjalan, kemungkinan besar tidak dilaksanakan sepenuhnya. Artinya, hampir
selalu ada variansi (variance) antara anggaran dengan realisasinya. Dalam
anggaran berbasis kinerja, APBD harus direncanakan dengan menetapkan terlebih
dahulu target kinerja yang ingin dicapai (Money follows functions). Jika tidak
ada target, maka tidak ada aktivitas. Jika tidak ada aktivitas, maka tidak ada
alokasi dana dalam APBD.
Pemeriksaan pembelanjaan dan pertanggungjawaban APBD mengalami perkembangan
dan perubahan yang cukup signifikan setelah berlakunya paket tiga Undang-undang
Keuangan Negara. Perubahan tersebut antara lain meliputi jenis pemeriksaan,
standar pemeriksaan, pelaksanaan dan pelaporan hasil pemeriksaan, serta
pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan. Perubahan tersebut tentunya harus
disikapi dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan yang semakin baik dan
‘semakin’ sesuai standar.
Tercatat sudah banyak perangkat lunak diciptakan mulai kode etik, petunjuk
pelaksanaan sampai petunjuk teknis dan SOP. Akan tetapi, apakah kualitas hasil
pemeriksaan dapat terjamin dengan banyaknya perangkat lunak pemeriksaan? Banyak
laporan yang menyatakan bahwa auditor sering mengandalkan intuisinya sebagai
pemeriksa dibandingkan harus mengandalkan atau mematuhi perangkat lunak pemeriksaan.
Auditor cenderung terlalu percaya diri dan kadang lupa dengan pakem yang harus
dipegang dalam memainkan perannya sebagai auditor.
Akibatnya, ini mendorong munculnya auditor yang doyan bermusik jazz. Yaitu
mengaudit dengan improvisasi sekenanya mengikuti intuisi yang dipercaya.
Padahal, ada kekhawatiran bahwa dengan improvisasi ini, bisa menyulitkan
penjaminan keandalan prosedur audit yang dijalankan.
Kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu kompetensi dan independensi.
Hasil penelitian tentang kompetensi menunjukkan bahwa profesi auditor mulai
tidak menarik dan tergeser oleh profesi yang lain. Hal ini berdampak terhadap
kualitas calon auditor yang memasuki dunia Pegawai negeri Sipil (PNS), yang
pada akhirnya akan membuat mereka akan eksodus ke unit kerja lain. Hasil
penelitian juga menunjukkan kualitas pendidikan secara formal untuk auditor
dirasa masih kurang memadai untuk menunjang kompetensinya. Penelitian juga
memberikan bukti empiris bahwa pengalaman akan mempengaruhi kemampuan auditor
untuk mengetahui kekeliruan dan pelatihan yang dilakukan akan meningkatkan
keahlian dalam melakukan audit.
Untuk itu maka masukan dari pihak lain atau pembina dan organisasi
sangat diperlukan untuk mengembangkan suatu kualitas audit. Hasil penelitian
tentang independensi menunjukkan bahwa dalam mengambil keputusan auditor
dipengaruhi oleh dorongan untuk mempertahankan citranya auditnya. Tetapi disisi
lain terdapat beberapa kekuatan yang bisa meredakan pengaruh tersebut. Hasil
penelitian juga memberikan bukti bahwa pengaruh Budaya masyarakat atau
organisasi terhadap pribadi auditor akan mempengaruhi sikap independensinya
(Soegijanto dan Hoesada, 2005).
PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian internal Pasal 47
menyebutkan bahwa pimpinan instansi/lembaga pemerintah bertanggung jawab atas
efektivitas penyelenggaraan sistem pengendalian internal di lingkungan
masing-masing. Atas dasar itu di masing-masing lembaga mempunyai satuan kerja
yang bertugas untuk mengawasi dan menjamin pelaksanaan operasional instansi
agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di tingkat pusat lembaga tersebut
lazim disebut Inspektorat dan ditingkat daerah disebut Badan Pengawas (Bawas)
yang sekarang Inspektorat juga.
Fungsi pengawas internal adalah membantu pimpinan instansi/lembaga dalam
penyelenggaraan pemerintahan dibidang :
1.
Pengawasan pelaksanaan kegiatan yang
dilaksanakan baik yang sudah selesai maupun on going;
2.
Evaluasi dan pelaporan pelaksanaan
tugas, fungsi evaluasi tersebut termasuk dalam pengujian secara berkala laporan
yang dihasilkan oleh masing-masing perangkat daerah;
3.
Pembinaan dan perbaikan pelaksanaan
kegiatan-kegiatan reguler yang dilaksanakan;
4.
Membantu tercapainya good corporate
governance.
Menurut penjelasan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 dan
perubahannya tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Kepala Daerah
(Bupati/Walikota) selaku pemegang kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan juga
bertindak sebagai pemegang kekuasaan dalam pengelolaan keuangan daerah.
Selanjutnya kekuasaan tersebut dilimpahkan kepada Kepala Satuan Kerja
Pengelolaan Keuangan Daerah selaku pejabat pengelola keuangan daerah dan
dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah itu sendiri sebagai pengguna
anggaran/barang daerah di bawah koordinasi dari Sekretaris Daerah.
Pemisahan pelaksanaan APBD ini akan memberikan kejelasan dalam pembagian
wewenang dan tanggungjawab terlaksananya mekanisme keseimbangan dan pengawasan
dalam pelaksanaan anggaran daerah (check and balances) serta untuk mendorong
upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka dana yang tersedia dalam APBD harus
dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal bagi kepentingan masyarakat.
3.1.1 Beberapa Permasalahan dalam Proses Pelaksanaan APBD hasil dari proses pengawasan oleh pihak internal.
Beberapa permasalahan yang ditemui ketika aparat inspektorat telah
melakukan pemeriksaan pembelanjaan dan pertanggungjawaban APBD, antara lain:
Pertama,
Struktur
belanja pada APBD yang lebih banyak mengakomodir belanja pegawai, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi kesalahan penganggaran. Kalau setiap
tahun belanja publik selalu kurang daripada belanja pegawai, pertanyaannya,
pegawai yang semakin banyak itu kerja apa saja?
Kalau jumlah
pegawai lebih banyak dari apa yang mau dia kerjakan? Itu aneh. Sehingga
pengadaan CPNSD harus dikurangi. Jangan setiap tahun terima CPNSD baru, karena
akan sangat membebani anggaran. Setiap periode jabatan KDH sebenarnya cukup dua
kali saja pengangkatan CPNSD supaya ada penghematan sehingga biaya belanja
aparatur dipakai untuk belanja publik. Jumlah rakyat miskin masih sangat
banyak, dana yang ada sebaiknya dipakai untuk kembangkan sektor riil dan jangan
hanya dihabiskan untuk belanja pegawai saja.
Kedua,
Penafsiran yang
berbeda antar SKPD terhadap peraturan pemerintah pusat yang selalu
berubah-ubah, sehingga menimbulkan berbagai macam interpretasi atas aturan yang
ada. Mau ikut aturan A takut kebentur aturan B. Kuatirnya auditor akan memakai
aturan B dan akhirnya menyalahkan SKPD. Kuatirnya ada pihak lain yang kemudian
berpendapat bahwa harusnya atas kejadian tersebut adalah mengacu pada aturan C
(sehingga membingungkan).
Salah satu contoh kongkritnya adalah pada saat akan menerapkan keppres 80/2003 dan perubahannya dengan Permendagri 13/2006 dan perubahannya. Pegawai yang berkutat di masalah keuangan daerah mengharuskan dipakai Permendagri, sedangkan yang biasa menangani pengadaan akan bersikukuh bahwa hanya Keppres-lah satu–satunya acuan utama mulai persiapan pengadaan, proses pemilihan penyedia, proses pelaksanaan dan prosedur pembayaran beserta dokumen–dokumennya.
Salah satu contoh kongkritnya adalah pada saat akan menerapkan keppres 80/2003 dan perubahannya dengan Permendagri 13/2006 dan perubahannya. Pegawai yang berkutat di masalah keuangan daerah mengharuskan dipakai Permendagri, sedangkan yang biasa menangani pengadaan akan bersikukuh bahwa hanya Keppres-lah satu–satunya acuan utama mulai persiapan pengadaan, proses pemilihan penyedia, proses pelaksanaan dan prosedur pembayaran beserta dokumen–dokumennya.
Ketiga,
penyalahgunaan
aset, yang terjadi karena ketidaktertiban mulai dari proses pencatatan,
pembiayaan, dan pelaporan sehingga tidak dapat diketahui track record aset
tersebut. Kelemahan yang sering terjadi adalah aset tidak dicatat di buku
inventaris atau tercatat di buku inventaris tetapi tidak pernah di-update
mengenai keberadaan, kondisi, dan lokasi aset tersebut.
Selain itu,
secara akuntansi belum dilakukan pencatatan aset sesuai Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP), di antaranya saat pembelian tidak dibukukan dalam buku
besar dan buku pembantu serta tidak dilakukan penyusutan. Kadangkala aset yang
tercatat tidak diketahui sumber dananya, baik yang didanai dari APBN/APBD,
hibah, sumbangan, maupun sitaan, dan sebagainya. Tidak tercatatnya aset, baik
dalam buku inventaris maupun secara akuntansi serta tidak jelas dalam segi
pembiayaannya, mengakibatkan pelaporan aset dalam neraca tidak akurat.
Hal ini kadang
menjadi permasalahan di SKPD, untuk perhitungan harga perolehan biasanya
dihitung di bagian keuangan atau akuntansi. Tentunya setelah dihitung harga
perolehan, maka pengurus barang segera mengganti harga aset tersebut dari harga
yang sesuai kontrak ke harga perolehan. Beberapa SKPD kadang tidak ada
komunikasi antara Bagian Keuangan/Akuntansi dengan Pengurus Barang. Tentu saja
ketika auditor masuk akan membandingkan data neraca dengan rincian barang.
Keempat,
Setiap
pemeliharaan terkait dengan anggaran untuk pemeliharaan. Belanja pemeliharaan
ternyata salah satu objek belanja yang paling sering difiktifkan pertanggungjawabannya.
Jika dicermati dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA), atau dalam Perhitungan
APBD, biasanya anggaran belanja pemeliharaan terealisasi 100%. Habis tak
bersisa. Yang menarik, berdasarkan penelitian di negara-negara berkembang,
terutama di Afrika dan Amerika Latin (IMF, 2007 dan World Bank, 2008; dikutip
Peduli Bangsa, 2008) fenomena ghost expenditures merupakan hal yang biasa.
Artinya, alokasi untuk pemeliharaan selalu dianggarkan secara incremental
meskipun banyak aset yang sudah tidak berfungsi atau hilang. hal ini terjadi
karena tidak adanya transparansi dalam penghapusan dan pemindahtanganan
aset-aset.
Kelima,
Pemeriksaan
aset hasil pengadaan terpusat pada satu instansi.
Keenam,
Pengadaan yang
tidak dilaksanakan oleh bagian atau sub bagian yang berwenang melaksanakan
sesuai tupoksinya. Berdasarkan fenomena yang terjadi uang untuk
pelaksanaan kegiatan dikuasai pada PPTK. Seharusnya uang untuk pelaksanaan
kegiatan dipegang oleh bendahara pengeluaran meskipun yang bertanggungjawab
untuk pengendalian atas pelaksanaan pekerjaan ada di tangan PPTK. Hal ini
bermakna bahwa meskipun PPTK bertanggungjawab atas kesuksesan pelaksanaan
kegiatan, PPTK tidak memegang uang (karena ada pada wewenang di bendahara).
Ketujuh,
Ketidakjelasan
pertanggungjawaban dan pelaksana perjalanan dinas.
Kedelapan,
Pembelian ATK
di luar “batas kewajaran” oleh SKPD.
Kesembilan,
Tidak
melaksanakan proses akuntansi, tetapi menghasilkan laporan keuangan. Sudah
menjadi kelaziman saat ini bahwa SKPD dipandang tidak perlu menyelenggarakan
proses akuntansi (menjurnal, memposting, menyesuaikan, menutup, dan menyusun
laporan keuangan) secara manual, karena telah ada software atau program yang
membantu. Sekali dilakukan entry data, maka laporan keuangan langsung jadi.
Apakah akuntansi sama dengan software di komputer?.
Kesepuluh,
Kelemahan
sistem penetapan honor berdasarkan kegiatan, karena tidak ditetapkan pemberian
penghasilan tambahan berdasarkan beban kerja secara adil.
Kesebelas,
Jumlah
persediaan yang tidak realistis pada akhir tahun anggaran, dan
sebagainya.Hal-hal tersebut di atas merupakan aspek-aspek yang harus diawasi,
artinya pengawasan tidak hanya bernuansa dilaksanakan setelah pelaksanaan
kegiatan, tetapi juga dimulai ketika perencanaan kegiatan masih dilakukan.
Pengawasan terhadap pembelanjaan dan pertanggungjawaban APBD dibagi menjadi
dua bagian; pengawasan eksternal dan pengawasan internal yang dijalankan
diklasifikasikan dari segi kategori fungsional yang tergantung pada maksud yang
akan dijalankan. Jadi pengawasan tersebut dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1.
pengawasan kebijakan (perumusan
kebijakan makroekonomi dan strategi);
2.
pengawasan proses (pengawasan
personil, procurement/pengadaan, konstruksi dan pembayaran) dan
3.
pengawasan efisien (ukuran kinerja
dan evaluasi).
Apakah pengawasan, suatu kalimat yang agak “merepotkan” bagi teman-teman
Pemda?, bukan saja karena implikasi dari pengawasan itu sendiri, tetapi juga
dari banyaknya pengawasan. Tetapi sebenarnya dilingkup intern SKPD itu sendiri
telah terlaksana pengawasan, yang dilaksanakan oleh pegawainya.
Pengawasan yang dimaksud tersebut dengan nomenklatur pengawasan atau dengan
yang serupa pengawasan, yaitu : Waskat, evaluasi, monitoring, atupun
konsultasi. Perbedaan antara auditor dan pegawai lain di SKPD adalah, auditor
mempunyai wewenang tidak hanya melakukan pengawasan tetapi juga ke tingkat
pemeriksaan sesuai tugas pokoknya berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan
oleh pemerintah pusat dan daerah.
Kriteria pemeriksaan mempunyai keunikan tersendiri dibandingkan dengan
pekerjaan lain. Pemilihan kriteria pemeriksaan tidak hanya meng”copy” peraturan
atau norma serta kaidah yang telah ditetapkan dalam bentuk produk hukum,
melainkan lebih jauh lagi kriteria pemeriksaan dapat dikembangkan standar atau
praktik-praktik yang dianggap baik dan relevan bagi sebuah kondisi kinerja yang
ideal. Oleh karena itu, pengembangan kriteria menjadi proses penting dalam
suatu perencanaan pemeriksaan untuk menjamin penilaian auditor lebih objektif,
proposional dan relevan dengan tujuan pemeriksaan, sehingga dapat menghasilkan
suatu rekomendasi perbaikan yang konstruktif bagi kinerja audite.
Problemnya adalah kebosanan dari instansi/lembaga untuk diperiksa,
banyaknya kegiatan pemeriksaan sedikit banyak membuat aktivitas pelayanan dan
operasional menjadi terganggu. Banyak waktu yang tersita untuk menjawab dan
menjelaskan berbagai permasalahan yang terjadi. Fungsi pengawas menjadi
pemeriksa membuat pemahaman terhadap masalah yang terjadi menjadi kurang,
parsial sehingga tidak menyeluruh. Pengawasan dilakukan tujuannya bukan
evaluasi untuk perbaikan proses yang sedang berlangsung tapi lebih kepada
evaluasi untuk mencari kesalahan atas kegiatan.
Faktanya, justru bottle neck yang terjadi dalam melaksanakan pemeriksaan
adalah ketidakmampuan mengidentifikasikan kriteria pemeriksaan. Ketidakmampuan
lebih disebabkan hal-hal antara lain tidak tersedianya Key Performance
Indicator (KPI), belum ada kesepakatan dengan auditee, dan tidak tersedia data
standar berupa benchmarking. Ini semua terjadi karena kita sudah terbiasa
dengan pola pemeriksaan kepatuhan yang mengharuskan sumber kriteria adalah
berupa peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan memaksa pelaksana
untuk mematuhinya. Tanpa itu maka temuan pemeriksaan dan rekomendasinya tidak
ada kekuatan mengubah auditee untuk memperbaiki. Apalagi kondisi tersebut
dikaitkan dengan ada tidaknya indikasi TPK.
3.2 DPRD Sebagai Pengawas Penggunaan APBD
Kepemerintahan daerah yang baik (good
local governance) merupakan Public
issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa
ini. Tuntutan pelaksanaan Pemerintahan yang baik yang dilakukan oleh masyarakat
kepada Pemerintah terus dikemukakan melalui tulisan – tulisan di media,
demonstrasi dan lain – lain merupakan suatu hal yang sejalan dengan konsep Good governance bahwa peran serta
masyarakat dalam mengawasi jalannya Pemerintahan mutlak dilakukan, sesuatu yang
tidak dapat dilakukan di era orde baru yang menganut sentralisasi. Hal itu merupakan Implikasi meningkatnya
pengetahuan masyarakat di samping adanya globalisasi pergeseran paradigma
pemerintahan dari rulling government yang terus bergerak menuju good governance dipahami sebagai suatu
fenomena berdemokrasi secara adil.
Penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu
negara tidak hanya terdapat di pusat pemerintahan saja. Pemerintahan pusat
memberikan wewenangnya kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan
pemerintahannya sendiri, dan di Indonesia yang dimaksud dengan pemerintahan
daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945.
Sedangkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah, dilaksanakan dengan asas Desentralisasi, yaitu
penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Di samping itu juga melaksanakan Dekonsentrasi, yaitu pelimpahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah
dan / atau kepada instansi vertikal, dan serta melaksanakan Tugas Pembantuan,
yaitu penugasan dari pemerintahan kepada daerah dan atau desa dari pemerintahan
propinsi kepada kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Lahirnya Undang - Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
menjadi era baru Pemerintahan di daerah, lalu digantikan dengan Undang –
undang nomor 32 tahun 2004, dan dilakukan perubahan atas Undang – Undang nomor
32 tahun 2004 dengan diterbitkannya Undang – Undang nomor 12 tahun 2008
menggantikan Undang-Undang yang sebelumnya menandai dimulainya paradigma baru
kebijakan otonomi daerah di Indonesia. Undang-Undang ini lahir sebagai wujud
menyikapi berbagai aspirasi dan tuntutan terhadap reformasi hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 memberikan kewenangan yang luas kepada setiap daerah untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat daerah menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan di
daerah, diperlukan perangkat - perangkat dan lembaga - lembaga untuk
menyelenggarakan jalannya pemerintahan di daerah. Sebagaimana hanya di pusat
negara, perangkat - perangkat dan lembaga - lembaga daerah biasanya merupakan
refleks dari sistem yang ada di pusat negara. Untuk memenuhi fungsi perwakilan
dalam menjalankan kekuasaan legislatif daerah sebagaimana di pusat negara di
daerah dibentuk pula Lembaga Perwakilan Rakyat, dan lembaga ini biasa dikenal
atau dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam Undang – undang nomor 32 tahun
2004 posisi DPRD dibuat sejajar dan menjadi mitra dengan Pemerinatah daerah.
salah satu kewenangan DPRD adalah melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
APBD. Menurut Mardiasmo ada tiga aspek utama yang mendukung keberhasilan
otonomi daerah, yaitu pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan, ketiga hal
tersebut pada dasarnya berbeda baik konsepsi maupun aplikasinya. pengawasan
mengacu pada tindakan atau kegiatan yang dilakukan di luar pihak eksekutif
(yaitu masyarakat dan DPRD) untuk mengawasi kinerja pemerintahan. pengendalian (control) adalah mekanisme yang
dilakukan oleh pihak eksekutif (Pemerintah Daerah) untuk menjamin
dilaksanakannya sistem dan kebijakan manajemen sehingga tujuan organisasi dapat
tercapai. pemeriksaan (audit) merupakan kegiatan oleh pihak yang memiliki
independensi dan memiliki kompetensi professional untuk memeriksa apakah hasil
kinerja pemerintah daerah telah sesuai dengan standar atau kriteria yang ada
(Mardiasmo, 2002 : 219).
Di Indonesia, pengelolaan anggaran
begitu pula penyusunan suatu anggaran dilaksanakan oleh lembaga legislatif
bersama – sama dengan eksekutif. Untuk anggaran pendapat dan belanja daerah
(APBD) penyusunannya dibuat oleh DPRD bersama – sama dengan Bupati/Walikota
Kepala Daerah Tingkat II, kemampuan kedua lembaga tersebut, DPRD dan
Bupati/Walikota sangat menentukan terbentuknya APBD serta kualifikasi dari
anggaran tersebut.
Secara umum peran DPRD diwujudkan
dalam tiga fungsi, yaitu:
1)
Regulator. Mengatur seluruh kepentingan daerah, baik yang
termasuk urusan - urusan rumah tangga daerah (otonomi) maupun urusan - urusan
pemerintah pusat yang diserahkan pelaksanannya ke daerah (tugas pembantuan);
2)
Policy Making. Merumuskan
kebijakan pembangunan dan perencanaan programprogram pembangunan di daerahnya;
3)
Budgeting. Perencanaan
angaran daerah (APBD).
Dan menurut Undang – undang Fungsi Dewan
Perwakilan Rakyat (DPRD) tersebut lebih disederhanakan ke dalam tiga fungsi, yaitu :
1)
Fungsi legislasi,
2)
Fungsi anggaran
3)
Fungsi pengawasan.
Fungsi pengawasan yang dilakukan
oleh DPRD diatur dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 42 ayat 1c,
PERMENDAGRI (Peraturan Menteri Dalam Negeri) Tahun 2006 Tentang Pedoman
Pengelolaan Daerah Pasal 311 ayat 1 dan 2, dan Undang – undang 12 Tahun 2008
Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 42 ayat 1c, dan UU Rexxpublik Indonesia No.
27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR. DPD, dan DPRD Pasal 344 ayat 1c.
Berikutadalahtahapan
– tahapandari proses pengawasanDPRD :
Tahap 1 DPRD menentukan agenda pengawasan,
Tahap 2Menetukanmetodologipengawasan,
Tahap3menjalinhubunganinstansiterkaitdanaliansistrategis,
Tahap 4Melaksanakanpengawasan,
Tahap 5Membuatlaporan,
Tahap 6Tindaklanjuthasilpengawasan,
Tahap 7Menilai LKPJ.
Ruang lingkup pengawasan yang
dilakukan oleh DPRD mencakup seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan
Program – program atau kebijakan yang
dibiyai oleh APBD, karena salah satu aspek Pemerintahan Daerah yang harus
diatur secara hati-hati adalah pengelolaan keuangan daerah karena anggaran
daerah memainkan peranan yang sangat penting dalam mendukung siklus
penyelenggaraan pemerintah di daerah untuk menciptakan kesejahteraan bagi
masyarakatnya. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam suatu daerah
merupakan suatu nafas daerah untuk dapat melanjutkan pembangunan daerah.
Pembangunan daerah dapat berjalan apabila pengawasan terhadap pelaksanaan APBD
berjalan dengan baik sesuai dengan apa yang telah di prioritaskan dan sesuai
dengan aspirasi dari masyarakat tersebut.
Anggaran bagi Pemerintah Daerah
adalah instrument terpenting dalam kebijakan ekonomi yang akan lebih
menjelaskan pritoritas kebijakan dokumen – dokumen lainnya, dengan kata lain,
anggaran mendefinisikan kebijakan, komitmen – komitmen politik dan prioritas
dalam memutuskan kemana anggaran harus digunakan dan dari mana mesti
dikumpulkan.
Fungsi Pengawasan DPRD Kabupaten
Serang diatur dalam Peraturan DPRD Kabupaten Serang Nomor 1 Tahun 2010 pasal
118 ayat 1 dan 2 yang berbunyi “ayat (1)
DPRD Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah tentang APBD,
ayat (2) pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan pemeriksaan tetapi
pengawasan yang lebih mengarah untuk pencapaian sasaran yang telah ditetapkan
dalam peraturan daerah tentang APBD”.
3.3 Pengawasan Internal Pemerintahan Daerah (BAWASDA)
Bawasda memiliki tugas pokok dan fungsi untuk
melakukan pengawasan keuangan. Beberapa keuangan provinsi/kabupaten/kota bidang
pengawasan terhadap keuangan dan aset daerah adalah:
-
Pelaksana APBD
-
Penerimaan pendapatan daerah dan
Badan Usaha Daerah
-
Pengadaan barang/jasa serta pemeliharaan/penghapusan
barang/jasa
-
Penyelesaian ganti rugi
-
Inventarisasi dan penelitian
kekayaan pejabat di lingkungan Pemda
3.4 Pengawasan oleh Pemerintah Pusat
3.4.1 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
BPKP adalah lembaga pemerintahan pusat non departemen
yang dibentuk lewat Keppres No.103 Tahun 2001. BPKP bertugas untuk
melakukan pengawasan penyelenggaran APBN.
BadanPengawasanKeuangandan
Pembangunan (BPKP) dibentukberdasarkanKeputusanPresidenNomor 31 Tahun 1983
tanggal 30 Mei 1983 tentangBadanPengawasanKeuangandan Pembangunan (BPKP), yang
sebelumnyaadalahDirektoratDjenderalPengawasanKeuangan Negara (DDPKN = DJPKN)
yang dibentukberdasarkanKeputusanPresidenNomor 26 tahun 1968.
Perubahaniniberdasarkanpadakebutuhanadanyasuatulembagapengawasan intern
pemerintah yang independendarimanajemenpemerintahan di
setiapinstansipemerintah( DepartemendanLembagaPemerintah Non Departemen ).
DalamKeppresNomor 31 tahun 1983
ditetapkantugaspokok BPKP yaitu :
·
Mempersiapkanperumusankebijaksanaanpengawasankeuangandanpengawasanpembangunan;
·
Menyelenggarakanpengawasanumumataspenguasaandanpengurusankeuangan;
·
Menyelenggarakanpengawasanpembangunan.
SesuaidenganKeppresNomor 103 tahun
2001 tentangKedudukan, Tugas, Fungsi, SusunanOrganisasidan Tata
KerjaLembagaPemerintah Non Departemensebagaimanatelahbeberapa kali diubah,
denganKeputusanPresidenNomor 30 tahun 2003 danPeraturanPresidenNomor 11 Tahun
2005, tugasdanfungsi BPKP adalahsebagaiberikut :
a. Tugas
Melaksanakantugaspemerintahan di
bidangpengawasankeuangandanpembangunansesuaidenganketentuanperundang-undangan
yang berlaku.Dalammelaksanakantugassebagaimanadimaksud di atas BPKP
menyelenggarakanfungsi:
1. Pengkajiandanpenyusunankebijakannasional
di bidangpengawasankeuangandanpembangunan
2. Perumusandanpelaksanaankebijakan
di bidangpengawasankeuangandanpembangunan;
3. Koordinasikegiatanfungsionaldalampelaksanaantugas
BPKP;
4. Pemantauan;
pemberianbimbingan,
danpembinaanterhadapkegiatanpengawasankeuangandanpembangunan;
5. Penyelenggaraanpembinaandanpelayananadministrasiumum,
ketatausahaan, organisasidantatalaksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan,
hukum, persanksian, perlengkapan, danrumahtangga.
b. PelaksanaanTugas
Pelaksanaantugas Kantor Perwakilan
BPKP diaturdalamSuratKepala BPKP Nomor: Kep-06.00.00-286/K2001 tanggal 30 Mei
2001. Dalammelaksanakantugasdanfungsitersebut di atas BPKP
PerwakilanProvinsiKalimatan Selatan sesuaidenganstrukturorganisasi yang
adadapatdikelompokkansebagaiberikut :
1. Bagian Tata
Usaha, mempunyaitugasmelaksanakanpenyusunanrencanadan program pengawasan,
urusankepegawaian, keuangan, persuratan, urusandalam, perlengkapan,
rumahtangga, pengelolaanperpustakaan, danpelaporanhasilpengawasan.
2. BidangPengawasanInstansiPemerintahPusat
(PIPP), mempunyaitugasmelaksanakanpenyusunanrencana, program,
pelaksanaanpengawasaninstansipemerintahpusat, danpinjaman/bantuanluarnegeri
yang
diterimapemerintahpusatsertapengawasanpenyelenggaraanakuntabilitasinstansipemerintahpusatdanevaluasihasilpengawasan.
3. BidangAkuntabilitasPemerintah
Daerah, mempunyaitugasmelaksanakanpenyusunanrencana, program,
danpengawasaninstansipemerintahdaerah,
sertapelaksanaanpengawasanpenyelenggaraanakuntabilitas,
danevaluasihasilpengawasan.
4. BidangAkuntan
Negara, mempunyaitugasmelaksanakanpenyusunanrencana, program,
pelaksanaanpemeriksaansertaevaluasipelaksanaan good corporate governance
danlaporanakuntabilitaskinerjabadanusahamiliknegara, Pertamina,
cabangusahaPertamina, kontraktorbagihasil, dankontrakkerjasama, badan-badan
lain yang di dalamnyaterdapatkepentinganpemerintah, danbadanusahamilikdaerahataspermintaandaerah,
sertaevaluasihasilpengawasan.
5. BidangInvestigasi,
mempunyaitugasmelaksanakanpenyusunanrencana, program,
pelaksanaanpemeriksaanterhadapindikasipenyimpangan yang merugikannegara,
badanusahamiliknegara, danbadan-badan lain yang di
dalamnyaterdapatkepentinganpemerintah,
pemeriksaanterhadaphambatankelancaranpembangunan,
danpemberianbantuanpemeriksaanpadainstansipenyidikdaninstansipemerintahlainnya.
3.4.2 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
BPK adalah salah satu lembaga tinggi negara yang kedudukannya
sejajar dengan pemerintah, DPR, MA dan DPA. Dengan Demikian BPK tidak dapat
dipengaruhi oleh pemerintah. BPK menjalankan fugsi pengawasan keuangan
eksternal, berbeda dengan BPKP yang melakukan pengawasan keuangan internal.
3.5 Pengawasan APBD OlehPublik
APBD atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah
daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
APBD merupakan dokumen perencanaan pembangunan yang
paling kongkrit yang menunjukan prioritas dan arah kebijakan pemerintah daerah
dalam satu tahun anggaran. Kenapa paling kongkrit ? Karena anggaran adalah
kebijakan operasional yang merupakan turunan dari strategi pembangunan
pemerintah sesuai visi, misi, program pembangunan yang ditetapkan.
Pada hakikatnya APBD dapat dikatakan sebagai anggaran
untuk sektor publik yang merupakan alat untuk mencapai tujuan dalam rangka
memberikan pelayanan kepada publik (baca: masyarakat/rakyat) dan orientasinya
tidak lain adalah menuju kerah terciptanya peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, anggaran untuk
sektor publik ini pengelolaannya dimandatkan kepada pemerintah daerah oleh
publik.
Melihat hakikat tersebut di atas, maka secara otomatis
sebenarnya publik mempunyai hak dan wajib mengawasi pelaksanaan APBD.
Bahkan tidak hanya mengawasi pelaksanaannya, tetapi
pada saat proses penyusunan APBD, publik wajib untuk berpartisipasi aktif dalam
prosesnya. Terkait dengan pengawasan publik terhadap pelaksanaan APBD, ada
sebuah pertanyaan yang sering dilontarkan terutama oleh aparat pemerintah atau
pejabat publik, yaitu apa kepentingan dan manfaatnya apabila publik mengawasi
pelaksanaan APBD ?
Mengetahui konsistensi antara perencanaan dan
penganggaran daerah dengan realisasi pelaksanaan perencanaan dan penganggaran
tersebut adalah penting diketahui oleh publik dalam kaitannya dengan pengawasan
APBD. Memastikan bahwa alokasi anggaran untuk kepentingan publik sudah dilaksanakan
secara efisien dan efektif, dalam hal ini pelaksanaan APBD tersebut tidak
terjadi pemborosan, tepat sasaran, dan memberikan dampak yang positif serta
manfaat yang berarti bagi kepentingan publik merupakan suatu hal yang juga
penting diketahui oleh publik terkait pengawasan APBD.
Kemudian hal yang terpenting bagi publik dalam
mengawasi pelaksanaan APBD adalah memastikan bahwa APBD yang sudah ditetapkan
yang pada hakikatnya adalah anggaran bagi sektor publik, dalam pelaksanaannya
tidak diselewengkan atau dimanfaatkan bagi kepentingan pribadi oleh oknum
pejabat publik.
Memberikan jaminan bahwa publik mendapatkan barang dan
jasa publik yang berkualitas merupakan manfaat bagi publik dalam upayanya
mengawasi pelaksanaan APBD, disamping terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat
dalam pelayanan publik yang berkualitas. Kemudian manfaat apabila publik secara
intens mengawasi pelaksanaan APBD adalah praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme
dalam pemanfaatan anggaran publik dapat dikurangi bahkan dihilangkan sehingga
dapat mewujudkan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang baik atau Good
Governance.
Pada praktek atau implementasinya, pengawasan APBD
tidak lepas kaitannya dengan ketersediaan dan aksesbilitas dari berbagai
dokumen yang berkaitan dengan anggaran seperti antara lain Kebijakan Umum
Anggaran (KUA), Prioritas dan Plafon Anggran (PPA), Dokumen Pelaksanaan
Anggaran (DPA) APBD, serta Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah
(RKA SKPD).
Ketersediaan dan aksesbilitas dokumen-dokumen inilah
yang selama ini menjadi tantangan dalam pengawasan APBD, karena adanya
paradigma terutama di kalangan aparat pemerintah atau pejabat publik yang
menyatakan bahwa berbagai dokumen yang berkaitan dengan anggaran tersebut
merupakan dokumen yang bersifat rahasia dan tidak dapat diakses oleh publik.
Dengan telah diterbitakannya UU Nomor 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik atau UU KIP, yang secara efektif mulai
berlaku pada tanggal 30 April tahun 2010 lalu, maka secara legal formal sudah
ada jaminan bagi publik dalam mengakses atau mendapatkan berbagai dokumen yang
berkaitan dengan anggaran.
Meskipun sampai saat ini masih tetap ada paradigma di
kalangan aparat pemerintah atau pejabat publik yang menyatakan bahwa berbagai
dokumen yang berkaitan dengan anggaran tersebut merupakan dokumen yang bersifat
rahasia dan tidak dapat diakses oleh publik. Tetapi apabila kita tetap
konsisten menggunakan argumen UU KIP tersebut, maka paradigma dokumen rahasia
tersebut dapat kita patahkan sesuai ketentuan UU KIP.
Dan yang lebih penting lagi adalah dengan adanya UU
KIP, dokumen-dokumen yang terkait dengan anggaran seperti yang telah disebutkan
di atas merupakan dokumen-dokumen yang wajib disediakan dan dapat diakses oleh
publik. Sehingga apabila ada upaya publik untuk mengakses dokumen-dokumen
anggaran tersebut tetapi tidak dikabulkan atau ditolak oleh aparat pemerintah
atau pejabat publik, maka publik dapat mengadukannya ke Komisi Infomasi baik
yang ada di daerah maupun di pusat.
Kemudian apabila ada keputusan Komisi Infomasi yang
menyatakan bahwa permohonan informasi tersebut diterima tetapi tidak
dilaksanakan oleh aparat pemerintah atau pejabat publik, maka mereka dapat
digugat ke pengadilan karena dianggap menghalangi dan/atau mengabaikan
keputusan Komisi Informasi yang mana dalam UU KIP tindakan tersebut dianggap
melakukan perbuatan pidana.
Dengan dapat diaksesnya dokumen-dokumen yang terkait
dengan anggaran, upaya pengawasan APBD oleh publik dapat dilaksanakan dengan
terencana, terarah, dan efektif. Sehingga partisipasi publik dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan guna mewujudkan suatu pemerintahan yang baik,
bersih, dan peduli dalam peningkatan kesejahteraan rakyat, dapat dilaksanakan
dengan baik serta sesuai dengan hak dan kewajibannya.
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Istilah pengawasan dalam bahasa Indonesia asal katanya adalah “awas”,
sedangkan dalam bahasa Inggris disebut controlling yang diterjemahkan
dengan istilah pengawasan dan pengendalian, sehingga istilah controlling
lebih luas artinya dari pada pengawasan. Akan tetapi dikalangan ahli atau
sarjana telah disamakan pengertian “controlling” ini dengan pengawasan.
APBD adalah suatu rencana keuangan
tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan pemerintah tentang APBD.
PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian internal Pasal 47
menyebutkan bahwa pimpinan instansi/lembaga pemerintah bertanggung jawab atas
efektivitas penyelenggaraan sistem pengendalian internal di lingkungan
masing-masing. Atas dasar itu di masing-masing lembaga mempunyai satuan kerja
yang bertugas untuk mengawasi dan menjamin pelaksanaan operasional instansi
agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di tingkat pusat lembaga tersebut
lazim disebut Inspektorat dan ditingkat daerah disebut Badan Pengawas (Bawas)
yang sekarang Inspektorat juga.
Fungsi pengawas internal adalah membantu pimpinan instansi/lembaga dalam
penyelenggaraan pemerintahan dibidang :
1.
Pengawasan pelaksanaan kegiatan yang
dilaksanakan baik yang sudah selesai maupun on going;
2.
Evaluasi dan pelaporan pelaksanaan
tugas, fungsi evaluasi tersebut termasuk dalam pengujian secara berkala laporan
yang dihasilkan oleh masing-masing perangkat daerah;
3.
Pembinaan dan perbaikan pelaksanaan
kegiatan-kegiatan reguler yang dilaksanakan;
4.
Membantu tercapainya good corporate
governance.
Dalam Undang – undang nomor 32 tahun
2004 posisi DPRD dibuat sejajar dan menjadi mitra dengan Pemerinatah daerah.
salah satu kewenangan DPRD adalah melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
APBD. Menurut Mardiasmo ada tiga aspek utama yang mendukung keberhasilan
otonomi daerah, yaitu pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan, ketiga hal
tersebut pada dasarnya berbeda baik konsepsi maupun aplikasinya.
pengawasan mengacu pada tindakan
atau kegiatan yang dilakukan di luar pihak eksekutif (yaitu masyarakat dan
DPRD) untuk mengawasi kinerja pemerintahan. pengendalian (control) adalah mekanisme yang dilakukan oleh pihak eksekutif
(Pemerintah Daerah) untuk menjamin dilaksanakannya sistem dan kebijakan
manajemen sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. pemeriksaan (audit)
merupakan kegiatan oleh pihak yang memiliki independensi dan memiliki
kompetensi professional untuk memeriksa apakah hasil kinerja pemerintah daerah
telah sesuai dengan standar atau kriteria yang ada.
Bawasda memiliki tugas pokok dan
fungsi untuk melakukan pengawasan keuangan. Beberapa keuangan provinsi/kabupaten/kota
bidang pengawasan terhadap keuangan dan aset daerah.
BPKP adalah lembaga pemerintahan
pusat non departemen yang dibentuk lewat Keppres No.103 Tahun 2001. BPKP
bertugas untuk melakukan pengawasan penyelenggaran APBN.
4.2 Saran Dan Kritik
Penulis sangat berterima kasih atas sokongan danmasukan
pembaca dan pengamat tulisan ini. Namun penulis menyadari bahwa karya ini masi
jauh sangat dari kesempurnaan dan terlebihnya memiliki banyak kekurangan. Maka
darii tu penulis mengaharapkan pembaca dan pengamat mau sudi kiranya memberikan
pendapat, kritikan atau sarannya demi kemajuan karya tulis selanjutnya yang
ingin di capai penulis.
4.3 Rekomendasi
- Perlu terus menerus dilaksanakan koordinasi baik langsung maupun tidak langsung antara auditor inspektorat dengan SKPD dalam mencapai kearah yang lebih baik pada pembelanjaan dan pertanggungjawaban APBD.
- Diperlukan penertiban aset, dengan mengetahui dahulu jenis-jenis penyimpangan yang terjadi untuk memperoleh tingkat pengelolaan pembelanjaan dan pertanggungjawaban APBD yang maksimal.
- Tugas-tugas yang dilaksanakan oleh Inspektorat tidak hanya terbatas pada pemeriksaan saja, tetapi juga banyak melakukan fungsi pelayanan dan konsultansi dalam rangka peningkatan kinerja instansi pemerintah daerah sesuai dengan tuntutan paradigma auditor internal yang dikehendaki pada saat ini.
- Dengan karakteristik yang relatif spesifik mengingat basis disiplin keilmuan dan profesinya, fungsi pengawasan internal perlu merevitalisasi proses pemeriksaannya dengan lebih fokus pada sistem pengendalian internal SKPD dalam pembelanjaan dan pertanggungjawaban APBD. Fokus pemeriksaan pada penerapan pengendalian internal yang memadai secara sungguh-sungguh dan konsisten, maka pola perilaku aparat pengawasan dapat terprediksi dan terkendali. Hal ini berarti bahwa secara tidak langsung akan terwujud standardisasi keahlian, keterampilan dan pengetahuan sumber daya manusia pengawasan, standardisasi proses kerja pelaksanaan audit, serta standardisasi hasil kerja audit pada tataran mikro yang pada akhirnya akan berpengaruh pada tataran makro.
- Sistem pengendalian internal merupakan prasyarat bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan keuangan negara yang amanah. Sistem pengendalian intern ini pulalah, yang salah satu unsurnya adalah fungsi audit internal, yang menjadi pertimbangan penting dalam menentukan keluasan dan kedalaman ruang lingkup pekerjaan audit. Dengan demikian, fungsi audit internal yang berjalan dengan baik akan menghasilkan keluaran yang berharga untuk menjadi masukan bagi pihak auditor eksternal, eksekutif, dan legislatif dalam memperbaiki pengelolaan pembelanjaan dan pertanggungjawaban APBD pada waktu yang akan datang.
- Oleh karena itu, sudah selayaknya fungsi pengawasan internal lebih diberdayakan dan dilaksanakan secara sinergis demi tercapainya tujuan pembelanjaan dan pertanggungjawaban APBD yang good governance pada sektor publik yaitu terwujudnya transparansi, akuntabilitas, kejujuran, keadilan dan kesejahteraan masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Victor M. Situmorang, Aspek Hukum
Pengawasan Melekat, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994,
Titik Triwulan T, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group,
,2011,
BN. Marbun, DPRD Pertumbuhan,
Masalah dan Masa Depannya, Jakarta: Erlangga, 1993, hlm.
Philipus, Pengantar Hukum
Administrasi Indonesia, Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1999,
Tutik Triwulan Tutik dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum
Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2011,
0 komentar:
Posting Komentar